Selasa, 14 Desember 2010

Riak-riak Cintaku

Detik- detik dalam hidupku hanya berisi detak- detak jantung setiap kali mengingat wajahmu. Mengenangmu menumbuhkan rasa perih akan kepedihan masa lalu, kepedihan akan sebuah kehilangan seorang kekasih yang dikasihi sepenuh hati. Sepanjang perjalanan hidup telah kucoba untuk melupakan dirimu. Bukan aku tak memaafkanmu, justru karena bagiku kesalahanmu tidak pernah terjadi. Yang kusesalkan hanyalah, mengapa kita kini terpisah? Satu pertanyaan kuajukan, apakah engkau pernah merasa apa yang kurasa?

Biarkan air ini mengalir, agar tak terus menerus menekan pintu bendungan hatiku. Hati yang membendung cinta dan tak tahu harus dialirkan kemana. Hati yang haus untuk mengasihi, seperti dahulu kasihku melimpahimu. Begitu banyak hilir yang tak terairi, namun hanya ada satu hilir yang kutuju, yaitu kamu. Akar pohon seakan mengutuki aku, mereka terancam mati kering akibat air yang tak mengalir dari bendungan hatiku. Haruskah aku mengalirkannya? Atau masih basahkah tanahmu? Sehingga engkau enggan meminta air hatiku? Waktu berlalu, tanahmu pun mulai mengering. Aku datang dan mengairi hilirmu dengan hati ini beriak mendatangi. Namun kulihat airmu tenang tak beriak bersama airku.Apakah ini artinya? Tiada cinta bicara!

Tulus ikhlas aku membantumu, mencoba sekuat hatiku untuk menjaga ketinggian bendungan hatiku. Berharap agar kamu tak kekeringan dan tak kebanjiran. Menjaga agar akar pohon di pinggir hatimu tak layu, seperti harapanku yang semakin layu memikirkan kebisuan riak airmu. Kubenamkan harapku dan mencoba bersabar. Panasnya tanah akan kulalui, tak peduli berapa banyak yang menguap. Harus kau akui cinta ini teruji, ribuan kilometer tanahpun akan aku lalui! Hanya dengan sebuah tekad, betapapun kerasnya tanahmu akan kumasuki dan akan kubuat lembap. Agar kau dapat mengerti bahwa cinta ini takkan lenyap. Riak air hatiku akan menjadi saksi bahwa hilir hatimu akan meluap, terisi penuh dengan air ini. Air sukacita yang akan menjawab keraguanmu selama ini. Keraguan yang sering menghambat aku untuk memasuki hilirmu, mengeruhkan kejernihan hatiku karena benturan dengan tembok batu nan keras. Mengaduk airku ketulusanku bersama liatnya tanah hatimu.

Suatu malam embun sejuk menyentuh permukaan bendunganku, menyapa dan bertanya; "apakah masih ada tempat untuk air langit?" Jawabku; "ada". Tanyanya lanjut, "apakah kamu yakin?" Akupun tersadar, air hatiku telah lama terbendung dan lama kelamaan tembok hatiku semakin rapuh. Mau tidak mau aku harus mengalirkannya ke hilir hati yang lain, hilir hati yang bahkan tak tersentuh bendungan hati lainnya. Kemudian setelah berpikir, aku menjawab air langit; "turunlah.., aku akan menampung dan mengalirkanmu." Sejak itu.., setiap kali air langit turun, bendungan hatiku meluap dan kualirkan kapan saja hilir lain memintanya. Karena sesungguhnya air adalah kehidupan, sama pentingnya dengan udara. Begitulah cinta yang ada di hatiku ini, tak terperi bila kupendam hanya untukmu. Masih banyak hilir yang memerlukan air hatiku, dan bila suatu saat tanahmu memuai menyambut air bendunganku, disitulah aku dan kamu bersatu, tak terpisahkan. Selama waktu itu tiba, aku akan membatasi airku, agar tidak sia- sia kesegaran itu. Agar tidak berkarat pintu air hatiku dan tidak macet ketika hilir kecil membutuhkan air hatiku.

Ditulis oleh: Yoan Nababan/ September 19th, 2009 at 14:38

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberi komentar dan kritik.

Sebagaimana perkataan menunjukkan watak, oleh itu harap menjaga etika dan menghindari SARA.

Terimakasih

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.